Dibacakan pada diskusi peluncuran antologi PERGI BERSAMA ANGIN, Penerbit Lazuardi, 2004 di Gramedia Depok, Sabtu 27 Maret 2004
SETIAP kali hendak membuat sebuah cerita baik itu novel atau pun cerpen, saya tidak pernah punya kiat khusus, atau rahasia khusus. Bila saya ingin menulis, ya, saya menulis. Tetap dengan tak punya kiat dan rahasia apa-apa.
Bagi saya, menulis sebuah cerita, sama halnya dengan melakukan sebuah hobi belaka, sebuah hobi yang pada akhirnya mungkin, juga menambah kocek kantong saya, meski kemudian habis juga untuk keperluan rumah tangga.
Proses Penulisan Cerita Pendek
Biasanya, saya hanya memerlukan waktu sekitar satu atau dua jam saja untuk menyelesaikan sebuah cerpen. Biasanya pula, seperti hakekatnya—cerpen adalah sebuah cerita yang habisa sekali baca—saya hanya memerlukan satu plot saja, tidak mencoba bermain dalam multi plot seperti halnya ketika menulis novel. Dan saya tidak berusaha mengejar sebuah bobot dalam penulisan cerpen saya. Karena, bagi saya, yang terbaik bagaimana mengolah kata-kata dan mempermainkan tokoh saya hingga bisa saja dia berada dalam kegamangan, atau kehisterisan. Itu sah-sah saja bagi saya, karena saya adalah pencipta mereka.
Tentang bobot itu sendiri, meskipun hanya satu plot saja, atau satu gagasan saja, saya berusaha untuk tiba pada bobot yang mengasyikan, hingga cerpen-cerpen saya terasa hidup dalam suasana magis. Magis di sini, saya mencoba menjerat para pembaca, agar dia terus menyelesaikan membaca cerpen yang saya buat.
Dan saya tidak berusaha untuk merangkum terlalu banyak ide-ide, gagasan-gagasan, peristiwa-peristiwa dan kehidupan dalam sebuah cerpen. Karena pada akhirnya, akan membuat cerpen-cerpen saya terasa berdesakan, saling sikut dan pada akhirnya hanya menjadi sebuah outline dari sebuah novel.
Saya tidak menggeneralisasikan bahwa cerpen-cerpen yang ada sekarang ini selalu berusaha mengejar bobot dengan memasukkan segala yang saya katakan tadi. Tapi, nampaknya penyakit seperti itu selalu mengendap dan terus memasuki sosok-sosok para penulis pemula. Ini memang bagus, tapi pada akhirnya, dia akan terjebak dengan kebingungannya sendiri.
Sementara style (proses penyampaian) saya, saya tetap mengandalkan dengan membuka sebuah konflik (baik tersirat maupun gamblang) dengan cara mempermainkan tokoh-tokoh saya. Dan biasanya, cerpen-cerpen saya itu hanya berlangsung dalam tempo satu atau dua hari, tapi dengan memadatkan seluruh cerita (ingat, bukan memaksa memasukkan seluruh ide, gagasan maupun peristiwa).
Tentang Tokoh
Ketika hendak menuliskan sebuah cerita, baik itu cerpen atau novel, saya lebih dulu memikirkan bagaimana dan siapa tokoh saya, tanpa perlu memikirkan cerita apa yang saya buat. Misalnya, seperti dalam Kupecahkan Matahari (cerpen ini pernah dimuat di majalah Hai, sekitar tahun 1995). Saya hanya perlu memikirkan tokoh, dia cowok, remaja. Itu saja yang saya pikirkan. Dan entah bagaimana datangnya, tiba-tiba saja sosok itu hidup dalam bayangan saya. Dia bisa bertindak semau dia, dia bisa berpikir semau dia, karena saya “tidak pernah” mendiktenya untuk ke mana dan mau apa.
Mengenai cerita, cerita pun mengalir begitu saja. Setelah mendapatkan sosok tokoh dan saya mulai menuliskan, semuanya keluar begitu saja tanpa mengalami proses yang sulit. Misalnya, pengendapan cerita, harus melihat kesana-kesini dulu, harus menunggu mood dll. Itu tak pernah saya lakukan. Karena saya tetap tidak percaya dengan yang dinamakan mood. Dalam hal mengarang, adalah dua kata yang tidak boleh dipercaya, yang pertama adalah : mood dan yang kedua : sulit.
Kupecahkan Matahari
Cerita ini mengetengahkan seorang anak muda yang bernama Sam, yang berada dalam kegamangan hidupnya karena dia tak bisa menerima kejadian demi kejadian yang terjadi di rumahnya. Dan memutuskan untuk pergi jauh dengan membawa amarah dan kekecewaannya.
Tanpa disadarinya dia sudah berada di dalam sebuah bus kota. Ingatan-ingatan tentang rumah menghantuinya, semakin membuat kemarahan dan kekecewaannya kian meninggi. Ketika itulah tiba-tiba satu peristiwa terjadi. Bus itu menabrak seorang pengendara motor. Dan orang-orang berubah menjadi beringas. Berubah sedemikian panasnya, mengalahkan panas matahari.
Itulah yang dirasakan Sam melihat kejadian itu. Hingga tanpa disadarinya sesuatu menyentuh titik temunya, hingga dia merasa, dalam menghadapi setiap persoalan, dia harus memadamkan dulu amarah dalam dadanya. Secara konotatif, matahari dalam dirinya.
Cerita ini saya garap dengan format yang sederhana. Tetap dengan cara penyampaian yang komunikatif dengan mempermainkan perasaan tokoh-tokoh saya (ini memang kerap saya lakukan). Saya tidak memasukkan banyak gagasan dan peristiwa, hanya sebuah jalinan yang cukup sederhana.
Tapi di sinilah letak “rahasia” dari cerpen-cerpen saya.
Catatan Terakhir
Saya selalu menyarankan, bila kita ingin menulis, menulislah tanpa harus takut apakah cerita itu berkenan atau tidak, bisa diterima orang banyak atau tidak. Tapi dari satu segi, kita sudah menuangkan gagasan-gagasan yang ada di benak kita (baik yang lama diendapkan atau muncul begitu saja).
Salam,
*Fahri Asiza