Cerpen : Pengadilan

(Dimuat di Tribun Jabar, Minggu 20 Februari 2011)

HARTOTO dituduh korupsi. Satpam menangkapnya. Lalu pimpinan menginterogasinya. Kemudian dibawa ke polisi. Disidik dan berkasnya dikirim ke Pengadilan. Di pengadilan, dia dihadapkan pada tiga orang hakim yang sudah punya nama. Jaksa penuntut umumnya pun bukan sembarangan. Hartoto enggan memakai pengacara. Bukan karena tidak yakin pengacara akan membelanya mati-matian, tapi Hartoto sanggup mengatasinya sendiri. Dia yakin, dirinya sebersih kertas putih.

“Sudah berapa lama Saudara bekerja di perusahaan ini?” tanya Jaksa Penuntut Umum dengan suara keras. Wajahnya garang. Selalu bernafsu bila melihat orang duduk di kursi pesakitan. Tidak perduli siapa pun orang tersebut. Mau pejabat, orang kere, menteri, gembel, presiden atau pemulung. Pokoknya, di mata sang Jaksa, orang itu bersalah.

“Tiga puluh dua tahun, Pak.”

“Selama tiga puluh dua tahu, apa yang Saudara berikan untuk perusahaan?” tanyanya lagi. Matanya nyalang. Ruang sidang penuh. Para pengunjung ingin melihat langsung jalannya persidangan. Ada yang percaya Hartoto bersalah, tapi sebagian besar tidak.

“Banyak sekali, Pak. Perusahaan itu maju karena saya. Saya banyak yang mengeluarkan gagasan bagus. Saya bekerja keras dengan mendelegasikannya pada bawahan saya. Karena gagasan saya, saya banyak menerima penghargaan. Baik dari dalam maupun dari luar.”

“Saudara dituduh korupsi. Saudara menerima tuduhan itu?”

Hartoto tersenyum. Baju putih yang dikenakannya bersih. “Tidak, Pak. Itu bukan korupsi.”

“Kalau begitu, Saudara menyebutnya apa?”

“Itu penghargaan yang saya terima. Sebagai ketua yayasan dari perusahaan tersebut, saya banyak menerima penghargaan. Tapi itu dituduh korupsi.”

“Saudara menyengsarakan banyak karyawan?”

“Karyawan yang mana yang saya sengsarakan? Mereka senang berada di bawah saya. Saya memperlakukan mereka adil. Untuk saya, harta kekayaan yang paling berharga adalah kecerdasan. Saya berusaha membuat mereka menjadi cerdas. Saya banyak membimbing mereka. Yang tidak mampu pun saya bantu. Yang sudah mampu saya beri kecerdasan.”

“Kenyataannya, banyak yang menganggap Saudara sebagai penjahat. Pengkhianat.”

“Itu ucapan dari orang-orang yang tidak puas, yang iri, yang dengki dan berusaha menjatuhkan saya.”

“Jadi Saudara tidak menerima tuduhan itu?”

“Jelas tidak.”

“Saudara dalam keadaan sehat, bukan?”

“Hanya kepala saya yang sedikit pening. Saya sudah minum aspirin.”

“Ada sejumlah bukti-bukti yang menguatkan Saudara melakukan korupsi.”

“Bukti-bukti itu tidak otentik.”

“Bukti-bukti ini dari aparat kepolisian dan juga dari bawahan Saudara sendiri.”

“Kalau begitu, vonis saja saya langsung. Saya menerima dipenjara bertahun-tahun, bahkan seumur hidup bila memang saya dinyatakan bersalah. Ini yayasan. Saya mendelegasikannya pada banyak pihak. Mungkin mereka yang korupsi, mungkin tidak. Tapi Pengadilan yang memutuskan. Bukankah ini sebuah lembaga peradilan yang mencari jawaban seadil-adilnya?”

Hakim Ketua memutuskan, sidang ditunda dua minggu kemudian.

***

Hartoto dibawa lagi. Sekarang memakai kopiah. Wajahnya teduh. Di penjara dia banyak mendapat kunjungan bernada simpatik. Orang-orang banyak yang ingin menjadi saksi. Mereka tahu Hartoto tidak bersalah.

“Tidak usah. Yang tidak suka padaku, pasti menganggapku bersalah,” begitu jawaban Hartoto. Tetap dengan senyum kebapakan.

“Bapak kan lagi sakit.”

“Hanya sakit kecil saja. Tidak masalah.” Hartoto terbatuk. “Yang jadi pikiran saya bukan masalah peradilan ini. Tapi… ah, sudahlah….”

“Pak… apa pun hasil di persidangan nanti, pasti Bapak akan tetap didemo.”

“Itu tandanya tidak dewasanya orang-orang kita.”

Hartoto duduk lagi. Di kursi yang sama. Di ruangan yang sama. Dengan wajah-wajah yang sama.

“Saudara Hartoto, Bapak mengaku tidak mempunyai harta. Lantas, bagaimana Bapak bisa mempunyai rumah di Pondok Indah?”

“Putra sulung saya yang pertama membelinya. Jangan menghina dia. Dia selalu berusaha sendiri sejak kecil. Mengambil S2 di Amerika pun atas biayanya sendiri. Sekarang, dia menjadi Presiden Direktur di sebuah perusahaan asing.”

“Bagaimana mobil Land Cruiser yang Saudara miliki?”

“Putri saya yang kedua yang membelikannya. Sebagai hadiah ulangtahun saya yang ke-55 waktu itu. Suaminya pengusaha besar yang tidak pernah berhubungan dengan pejabat, menteri atau orang-orang Pemerintahan. Dia penguasaha islami yang setiap Jum’at selalu pergi ke desa-desa untuk membantu membuat masjid, jalan, musholla maupun majelis taklim.”

“Saudara punya rumah seluas limaratus meter.”

“Saudara Jaksa, saya yakin Saudara bukan orang bodoh. Saya bekerja selama tiga puluh dua tahun. Saya punya gaji dan fasilitas yang diberikan perusahaan. Apakah Saudara pikir yang saya tidak mampu membeli rumah seluas limaratus meter? Janganlah berpikir licik. Saudara masih muda walaupun nama Saudara sudah terkenal. Dan saya minta, janganlah Saudara menjadi pahlawan padahal Saudara tidak tahu apa yang terjadi.”

“Bukti-bukti yang memberatkan Saudara sebagai pelaku korupsi, apakah itu artinya yang tidak tahu?”

“Yang tahu saya sendiri, bukan? Atau, Saudara Jaksa dan yang lainnya, yang menuduh saya korupsi, tahu jalan pikiran saya? Bisa membaca hati dan pikiran saya? Saya rasa tidak.”

“Saudara jangan berbeli-belit.”

“Saya justru membantu Saudara untuk lebih mudah melancarkan tuduhan menjadi dakwaan.”

Hakim Ketua menengahi dan meminta Hartoto untuk menjaga kesopanan. Hartoto bingung. Apakah membela diri dianggap tidak sopan?

“Tim audit dari luar negeri sudah memeriksa semuanya, “ kata Jaksa lagi. “Dan mereka menyatakan, Saudara telah korupsi.”

“Masalah ini adalah masalah intern. Mengapa harus meminta bantuan dari luar negeri? Apakah orang-orang di sini dianggap tidak kompeten? Jalan pikiran itu yang tidak ada di pikiran saya. Satu hal lain, apakah sudah diperiksa orang-orang yang saya delegasikan pekerjaan?”

“Itu kesalahan Saudara yang mendelegasikannya pada orang-orang yang salah.”

“Bila ternyata saya tidak bersalah, tapi dakwaan dan vonis sudah ada, apakah itu bukan kesalahan?”

Sidang ditunda lagi. Kali ini Hartoto dianggap berbelit-belit dalam menjawab pertanyaan Jaksa. Hartoto dibawa lagi ke ‘rumah’nya, sebuah ruangan berukuran 3 x 4 yang pengap.

Di ruangan ini, dia mendesah panjang. Jalan hidup memang panjang. Kehidupan terus berlanjut dan berubah. Yang membuatnya heran, mengapa sama sekali tak ada penghargaan baginya selama ini? Perusahaan itu telah dibuatnya maju, bersahaja, terpandang dan dikenal orang. Tapi, dia dituduh korupsi? Apa yang telah dikorupsinya?

Seharusnya perusahaan mengerti. Perusahaan dapat memahami setiap perasaan yang mengalir dalam darahnya, berdenyut mengikuti irama nadinya. Toh yang dilakukannya sebagai imbalan apa yang telah diberikannya selama ini. Hal lumrah, mudah dicerna dan dimengerti. Harusnya dapat dipahami oleh siapa saja, baik itu Satpam, pimpinan, polisi, jaksa penuntut umum atau pun hakim ketua yang menyidangnya. Dia hanya mengambil sedikit saja dari haknya. Tidak lebih. Itu pun pakai pertimbangan walaupun harus disentak-sentak oleh perasaannya sendiri. Digedor dalam hingga pecah dan membuat Hartoto makin yakin, mengubah angka-angka yang harus dilaporkannya adalah bagian dari hak yang dimilikinya.

Suara cecak, entah di mana terdengar sangat nyaring.

Hartoto pelan-pelan tertidur….***

Mutiara Duta, 30 November 2010

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: