Archive for the Bedah Buku Category

Catatan Tentang Cerpen Kupecahkan Matahari

Posted in Bedah Buku on 07/12/2010 by ruangfahriasiza

Dibacakan pada diskusi peluncuran antologi PERGI BERSAMA ANGIN, Penerbit Lazuardi, 2004 di Gramedia Depok, Sabtu 27 Maret 2004

SETIAP kali hendak membuat sebuah cerita baik itu novel atau pun cerpen, saya tidak pernah punya kiat khusus, atau rahasia khusus. Bila saya ingin menulis, ya, saya menulis. Tetap dengan tak punya kiat dan rahasia apa-apa.

Bagi saya, menulis sebuah cerita, sama halnya dengan melakukan sebuah hobi belaka, sebuah hobi yang pada akhirnya mungkin, juga menambah kocek kantong saya, meski kemudian habis juga untuk keperluan rumah tangga.

Proses Penulisan Cerita Pendek

Biasanya, saya hanya memerlukan waktu sekitar satu atau dua jam saja untuk menyelesaikan sebuah cerpen. Biasanya pula, seperti hakekatnya—cerpen adalah sebuah cerita yang habisa sekali baca—saya hanya memerlukan satu plot saja, tidak mencoba bermain dalam multi plot seperti halnya ketika menulis novel. Dan saya tidak berusaha mengejar sebuah bobot dalam penulisan cerpen saya. Karena, bagi saya, yang terbaik bagaimana mengolah kata-kata dan mempermainkan tokoh saya hingga bisa saja dia berada dalam kegamangan, atau kehisterisan. Itu sah-sah saja bagi saya, karena saya adalah pencipta mereka.

Tentang bobot itu sendiri, meskipun hanya satu plot saja, atau satu gagasan saja, saya berusaha untuk tiba pada bobot yang mengasyikan, hingga cerpen-cerpen saya terasa hidup dalam suasana magis. Magis di sini, saya mencoba menjerat para pembaca, agar dia terus menyelesaikan membaca cerpen yang saya buat.

Dan saya tidak berusaha untuk merangkum terlalu banyak ide-ide, gagasan-gagasan, peristiwa-peristiwa dan kehidupan dalam sebuah cerpen. Karena pada akhirnya, akan membuat cerpen-cerpen saya terasa berdesakan, saling sikut dan pada akhirnya hanya menjadi sebuah outline dari sebuah novel.

Saya tidak menggeneralisasikan bahwa cerpen-cerpen yang ada sekarang ini selalu berusaha mengejar bobot dengan memasukkan segala yang saya katakan tadi. Tapi, nampaknya penyakit seperti itu selalu mengendap dan terus memasuki sosok-sosok para penulis pemula. Ini memang bagus, tapi pada akhirnya, dia akan terjebak dengan kebingungannya sendiri.

Sementara style (proses penyampaian) saya, saya tetap mengandalkan dengan membuka sebuah konflik (baik tersirat maupun gamblang) dengan cara mempermainkan tokoh-tokoh saya. Dan biasanya, cerpen-cerpen saya itu hanya berlangsung dalam tempo satu atau dua hari, tapi dengan memadatkan seluruh cerita (ingat, bukan memaksa memasukkan seluruh ide, gagasan maupun peristiwa).

Tentang Tokoh

Ketika hendak menuliskan sebuah cerita, baik itu cerpen atau novel, saya lebih dulu memikirkan bagaimana dan siapa tokoh saya, tanpa perlu memikirkan cerita apa yang saya buat. Misalnya, seperti dalam Kupecahkan Matahari (cerpen ini pernah dimuat di majalah Hai, sekitar tahun 1995). Saya hanya perlu memikirkan tokoh, dia cowok, remaja. Itu saja yang saya pikirkan. Dan entah bagaimana datangnya, tiba-tiba saja sosok itu hidup dalam bayangan saya. Dia bisa bertindak semau dia, dia bisa berpikir semau dia, karena saya “tidak pernah” mendiktenya untuk ke mana dan mau apa.

Mengenai cerita, cerita pun mengalir begitu saja. Setelah mendapatkan sosok tokoh dan saya mulai menuliskan, semuanya keluar begitu saja tanpa mengalami proses yang sulit. Misalnya, pengendapan cerita, harus melihat kesana-kesini dulu, harus menunggu mood dll. Itu tak pernah saya lakukan. Karena saya tetap tidak percaya dengan yang dinamakan mood. Dalam hal mengarang, adalah dua kata yang tidak boleh dipercaya, yang pertama adalah : mood dan yang kedua : sulit.

Kupecahkan Matahari

Cerita ini mengetengahkan seorang anak muda yang bernama Sam, yang berada dalam kegamangan hidupnya karena dia tak bisa menerima kejadian demi kejadian yang terjadi di rumahnya. Dan memutuskan untuk pergi jauh dengan membawa amarah dan kekecewaannya.

Tanpa disadarinya dia sudah berada di dalam sebuah bus kota. Ingatan-ingatan tentang rumah menghantuinya, semakin membuat kemarahan dan kekecewaannya kian meninggi. Ketika itulah tiba-tiba satu peristiwa terjadi. Bus itu menabrak seorang pengendara motor. Dan orang-orang berubah menjadi beringas. Berubah sedemikian panasnya, mengalahkan panas matahari.

Itulah yang dirasakan Sam melihat kejadian itu. Hingga tanpa disadarinya sesuatu menyentuh titik temunya, hingga dia merasa, dalam menghadapi setiap persoalan, dia harus memadamkan dulu amarah dalam dadanya. Secara konotatif, matahari dalam dirinya.

Cerita ini saya garap dengan format yang sederhana. Tetap dengan cara penyampaian yang komunikatif dengan mempermainkan perasaan tokoh-tokoh saya (ini memang kerap saya lakukan). Saya tidak memasukkan banyak gagasan dan peristiwa, hanya sebuah jalinan yang cukup sederhana.

Tapi di sinilah letak “rahasia” dari cerpen-cerpen saya.

Catatan Terakhir

Saya selalu menyarankan, bila kita ingin menulis, menulislah tanpa harus takut apakah cerita itu berkenan atau tidak, bisa diterima orang banyak atau tidak. Tapi dari satu segi, kita sudah menuangkan gagasan-gagasan yang ada di benak kita (baik yang lama diendapkan atau muncul begitu saja).

Salam,

*Fahri Asiza


Advertisement

Novel Science Fiction Efi F. Arifin

Posted in Bedah Buku on 23/05/2010 by ruangfahriasiza

Efi, Rekha dan Fiksi Ilmiah*

(bahasan tentang novel science fiction  NSJ 2122 MUMI LEGENDA

karya Efi F. Arifin)

Oleh : Fahri Asiza

*disampaikan pada Launching Mumi Legenda yang diselanggarakan oleh Penerbit DAR! Mizan,  Sabtu 26 Juni 2004, pukul 11.00 di Book Fair, Senayan, Jakarta

Assalamu ‘alaikum wr.wb

Pengantar

Setiap kali membaca sebuah karya (karya apa saja dari penulis siapa saja), saya selalu mengosongkan diri dulu. Dalam arti, bukan sebagai penulis, tapi sebagai seorang penikmat dari sebuah karya tulisan (fiksi) dan sebagai seorang pelajar yang sedang membutuhkan sebuah pembelajaran (pengetahuan).

Ada kecenderungan berbeda ketika saya membaca sebuah novel biasa dengan novel berbau fiksi ilmiah. Perbedaan itu antara lain, ketika hendak membaca sebuah fiksi ilmiah, yang tergambar di otak saya adalah betapa njelimetnya menjelaskan sesuatu yang berbau ilmiah. Terlebih lagi bila setting yang dipakai puluhan bahkan ratusan tahun mendatang dari masa sekarang. Saya langsung membayangkan fantasi dan imajinasi dari si penulis tentang keadaan pada masa yang akan datang. Di mana tentunya, segala sesuatunya jauh berubah. Karena ini berhubungan dengan kata “ilmiah”, saya juga membayangkan segala sesuatunya pasti berhubungan dengan ilmu pengetahuan—meski itu hanya khayalan semata.

Continue reading

Buku dan Sifat Kemanusiaan

Posted in Bedah Buku on 22/05/2010 by ruangfahriasiza

Ketika menuliskan hal ini, saya tidak berpikir tentang segala teori yang mendukung, tidak pula memikirkan teori-teori yang hebat. Jadi bila tulisan ini dibaca, siapa pun yang membaca akan kecewa karena tak menemukan teori-teori yang kadang njlimet, kadang bisa dibantah dengan teori lain, dan kadang tidak pada tempatnya. Jadi yang saya tulis ini hanyalah pikiran saya semata dan dari beberapa pengalaman.

Buku buat saya adalah dunia tersendiri yang mengasyikan, hingga saking asyiknya berkencan dengan buku, kadang saya sampai lupa makan atau mandi. Bahkan satu ketika, saya pernah jatuh sakit karena siang malam memaksakan menghabisi sebuah buku yang menarik perhatian saya.

Continue reading

Kumcer Irwan Kelana, Kelopak Mawar Terakhir

Posted in Bedah Buku on 18/05/2010 by ruangfahriasiza

Kumpulan Cerpen “Kelopak Mawar Terakhir” karya Irwan Kelana :

CINTA dan MATA BATIN

Oleh Fahri Asiza *)

dibacakan di bedah kumcer Irwan Kelana, di masjid toko buku Wali Songo, Oktober, 2004

Dua belas cerita pendek terangkum dalam kumcer Kelopak Mawar Terakhir (KMT)

Berbeda dengan tiga cerpen terakhir, Ke Surga pun Kukejar Cintamu, Sebelum Cinta Beranjak Pergi dan Kelopak Mawar Terakhir, yang merupakan trilogi atau satu kesatuan utuh, cerpen-cerpen lainnya berdiri sendiri.

Memiliki nuasana dan jiwa sendiri pula, meski tidak melulu bertemakan cinta.

Apa sebenarnya yang menarik dari cerpen-cerpen Irwan Kelana ini (IK)?

Pernyataan

Ketika memulai membaca KMT, pandangan mata saya tertuju pada beberapa penulis kenamaan yang memberikan komentarnya terhadap karya IK ini. Salah satunya adalah Ahmadun Yosi Herfanda yang nampaknya secara khusus membicarakan trilogi yang ada dalam cerpen ini, seperti yang saya sebutkan di atas (semacam kata pengantar)

Kita mulai menilik dari ungkapan Kurnia Effendi dan kesetujuan Ahmadun, bahwa IK adalah termasuk pengarang yang menulis dengan cara mencintai tokoh-tokohnya dan menyampaikan petuah secara tersembunyi.

Continue reading