Cerpen : Kupecahkan Matahari
TIBA-TIBA saja kepalanya pening. Tanpa sadar dipegangnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya tetap berpegang erat pada tiang yang menggantung horizontal di atas kepalanya.
Rasa pening yang tak tertahankan membuatnya harus memijat-mijat kepalanya. Tak ada perubahan. Justru semakin menyengat. Lebih menyakitkan, karena mendadak saja perutnya mual. Lebih mual lagi ketika penciumannya menangkap aroma memuakkan dari seorang ibu yang berdiri di sebelahnya. Entah minyak wangi model apa yang digunakan si Ibu.
Bus kota yang ditumpangi penuh sesak. Panas merebak, menjalari setiap sendi di tubuhnya. Dia sendiri heran mengapa bisa terperangkap di bus kota ini. Bermacam aroma mengudara. Sialnya, tak satu pun gadis cantik yang nekat ikutan berdesak-desakan seperti ini.
Siang bolong begini, biasanya penumpang bus kota agak jarang. Karena sebagian besar peminatnya masih berada di kantor. Tapi sialnya, bus yang ditumpanginya benar-benar minta ampun sementara sang kondektur tetap dengan asyik menawarkan tempat bagi konsumennya.
Dan pusing kepalanya tetap tak mau hilang. Kuat mencengkeram dan siap menghancurkan batok kepalanya. Angin yang masuk melalui kaca jendela yang dibuka lebar-lebar, tak mampu memadamkan hawa panas di dalam bus.
“Lebih baik di rumah saja, Sam….” terngiang kata-kata Mirna, kakak perempuannya yang baru dua bulan menjadi janda, gara-gara suaminya ternyata telah beristri. Kakaknya merasa lebih baik menjadi janda ketimbang harus jadi istri kedua. Sialnya, belang si suami keparat itu baru ketahuan setelah Mirna mempunyai seorang anak.
Di rumah? Betahkah dia di rumah, kalau rumah dirasakan seperti neraka? Di sana tinggal ibunya yang sudah tua. Ayahnya meninggal lima tahun lalu karena demam berdarah. Mas Gono, kakak tertua, tiba-tiba muncul setelah menghilang sepuluh tahun. Katanya jadi awak kapal. Tapi dia tidak percaya. Masa awak kapal kere macam Mas Gono? Mungkin kapalnya kapal karam, begitu dulu dia mengejek yang harus menerima perih di pipi kanannya.
Menyusul Mbak Rien yang menangis selama seminggu karena tertipu agen penyanyi. Katanya mau diorbitkan jadi penyanyi di Batam, tidak tahunya malah hendak dijadikan pramusyahwat. Masih untung Mbak Rien berhasil meloloskan diri sebelum harga dirinya lenyap diterkam cakar-cakar keparat.
Tekad Mbak Rien memang mulia. Mbak Rien pandai menyanyi. Dulu dia sering mendengar kakaknya itu bernyanyi. Bahkan Mbak Rien pernah jadi juara pertama lomba menyanyi televisi dan radio. Seminggu kemudian, datang seorang wanita yang mengaku membutuhkan penyanyi untuk restorannya di Batam. Mbak Rien terpikat walau Ibu melarang. Mbak Rien memaksa walau Ibu menangis.
Menyusul kepadatan di rumah, Mas Usman pulang setelah diusir mertuanya karena menempeleng istrinya. Menurut Mas Usman, istrinya main serong. Wajar dia memukulnya. Tapi sang Mertua berang. Tak seorang pun anaknya yang boleh diperlakukan seperti itu walaupun dia bersalah. Mas Usman kontan di-PHK menjadi menantu. Dan terakhir, Mbak Mirna yang tetap tegar walaupun hatinya berkeping-keping berantakan.
Apakah sekarang rumah baginya sebuah kedamaian, sebuah tempat yang dulu dijadikannya naungan dari segala pedih? Tidak! Dia tidak betah di rumah. Yang terdengar hanyalah teriakan Mas Gono yang memang tidak punya pekerjaan. Belum lagi bila bertengkar dengan Mas Usman. Pernah mereka memaksa Ibu untuk menjual tanahnya yang cuma sepetak. Mbak Mirna, Mbak Rien dan dia menolak habis-habisan rencana Mas Gono dan Mas Usman. Tapi apa daya karena mereka adalah kakak-kakak yang ‘perkasa’. Tanah itu pun dijual. Dibagi tiga dengan Ibu. Atau tepatnya, dibagi dua. Karena Ibu hanya mendapatkan ‘belas kasihan’ dari keduanya.
Mas Gono membeli mimpi, membeli kupon Singapura atau yang lebih dikenal dengan sebutan Togel. Mas Usman masih mau menggunakan otaknya, membeli sepeda motor untuk mengojek.
Sementara dia, yang waktu itu masih duduk di bangku kelas dua SMA, harus menahan segala-galanya. Dipercayainya apa pun itu kembali pada apa yang dinamakan segala. Tapi sekarang, segala itu telah menghancurkannya! Memporak-porandakannya dengan ganas.
Masih beruntung dia bisa menyelesaikan sekolah. Itu pun dengan bantuan Mbak Mirna yang menerima jahitan, yang susah payah harus bertahan hidup demi mengasuh putrinya yang masih berusia satu tahun.
Mas Gono kembali pada tabiat gilanya setelah uangnya habis. Mimpinya musnah karena deretan angka yang dipasangnya tidak pernah tembus. Kalau pun tembus hanya dua angka–itu pun hanya dua kali tapi sudah menganggap mendapatkan harta karun–selebihnya hancur. Kerjanya hanya marah-marah dan meminta uang dari Mbak Mirna.
Dan yang mengherankan, tiba-tiba saja Mas Gono menjadi seperti tersadar dari kesalahannya selama ini. Dia bisa bersikap seperti anak kecil yang manis. Bahkan dia meminta Mas Usman untuk gantian mengojek. Walaupun harus melalui pertengkaran hebat, Mas Usman akhirnya mengalah, dengan perhitungan Mas Gono harus menyetor sebesar lima ribu rupiah setiap hari.
Selama satu minggu hal itu berjalan lancar. Memasuki hari ke delapan, Mas Gono tidak pulang. Ditunggu sampai dua minggu, tetap tidak pulang. Yang terdengar kabar, kalau motor Mas Usman sudah dijual oleh Mas Gono!
Mas Usman murka. Kemarahannya menggila. Otaknya telah tersembelih. Kali ini bukan pertengkaran, tapi pertarungan yang terjadi. Di depan jalan, di depan rumah, Mas Usman menyerang Mas Gono yang tiba-tiba muncul dengan golok. Yang diserang tidak mau kalah. Dan balas menyerang. Akibatnya, nyawa Mas Gono meregang pergi dengan jasad penuh darah dan Mas Usman harus mendekam dipenjara.
Apakah dia harus merasa betah di rumah?
“Terimalah keadaan ini, Sam,” terngiang lagi kata-kata Mbak Mirna, sementara pusing di kepalanya kian menyayat.
“Apa yang bisa kuterima, Mbak,” desisnya pilu sembari menyandarkan tubuhnya di kursi. Kepalanya tengadah, memandang bulan alis yang redup. Langit pekat. Di atas, gerombolan awan hitam tentunya menghadang sinar rembulan.
Mbak Mirna mendesah. Menepuk nyamuk yang menggigit lengannya. Udara di luar cukup dingin.
“Mungkin Tuhan sedang menguji kita, Sam. Tuhan ingin tahu kekuatan kita dalam menghadapi ujian.”
“Mungkin pula Tuhan murka, karena kita selalu curiga dan ribut melulu.”
“Bisa jadi Tuhan murka.”
“Tapi kenapa Tuhan tidak segera memaafkan?”
“Persoalannya belum selesai, Sam. Masing-masing orang masih mendendam. Masing-masing orang tidak mau menerima keadaannya dan keadaan orang lain.”
“Inilah yang tidak kumengerti, Mbak.”
“Mbak yakin, kau pasti akan mengerti. Kau anak yang cerdas, Sam.”
“Aku tidak tahu apakah aku memang cerdas atau tidak. Tapi aku cuma menggunakan otakku untuk berpikir.”
“Dan gunakan otakmu, tahan setiap langkahmu untuk keluar dari rumah ini….”
Dia mendesah pendek. Kata-kata Mbak Mirna begitu dalam, memilukan. Seberapa seringkah dia meninggalkan rumah? Pergi pagi, pulang pagi kembali. Bahkan tidak pulang beberapa lama.
Bukan dia tidak menyukai rumah, bukan dia tidak senang berada di pelukan Ibu, bukan pula karena rumah ini menyesengsarakannya. Tapi… dia merasa tak ada gairah hidup memandang kegelisahan yang kian meraja di rumah ini. Baginya berada di luar rumah lebih baik ketimbang harus melihat Ibu yang termangu sepanjang hari tanpa tahu apa yang dipikirkan. Yang dapat dia rasakan, Ibu menyesali tingkah laku putra-putrinya, mungkin termasuk dirinya.
Hari ini, siang terik begini, dia juga telah meninggalkan rumah. Keputusannya sudah bulat. Dia malu dengan tetangga yang mengetahui Mas Gono tewas di tangan Mas Usman, malu karena Mas Usman menjadi pembunuh dan dipenjara, malu karena Mbak Rien tetap bertahan tidak mau keluar rumah, malu karena Mbak Mirna dianggap sebagai wanita yang merebut suami orang dan malu pada dirinya sendiri yang cuma menjadi benalu di rumahnya.
Dia tak ingin kembali. Dia akan pergi jauh.
Rasa sakit di kepalanya kian menjadi. Aroma minyak aneh yang dipakai si ibu di sebelahnya kian menyengat. Perutnya makin mual. Dia ingat, kalau sejak pagi belum diisi apa-apa.
Bus kota mendadak mengerem, decitnya terdengar keras. Orang-orang di dalam bus berteriak kaget, ketakutan dan juga ingin tahu. Yang berdiri, termasuk dirinya harus doyong ke depan sebelum terhentak lagi ke belakang.
Belum disadari apa yang terjadi, terdengar teriakan-teriakan ramai di luar. Dilihatnya sang sopir sedang berusaha membuka pintu, sementara kerumunan sudah menghadang di balik pintu. Mereka berteriak-teriak kalap.
“Hajar!”
“Bakar!”
“Ya! Bakar!!”
Kepanikan mulai menjalari seisi bus. Para penumpang berusaha untuk segera turun. Mereka tak mengindahkan lagi kesopanan. Saling sepak, terjang, dorong, bahkan memukul dilakukan untuk lebih dulu mencapai pintu.
Dia yang masih belum mengerti apa yang telah terjadi, harus terdorong. Kakinya terinjak. Tangannya tersentak. Sakit. Teriakan semakin keras terdengar.
“Praaangg!!”
Salah sebuah kaca jendela bus pecah berantakan. Sesuatu meluncur kencang dan menghantam kepalanya! Perihnya bukan main. Pusingnya kian menjadi. Darah mengucur keluar.
“Turun! Turun!!!”
“Bakar! Bakaaarrr!!”
Kesadarannya muncul. Diterobosnya orang-orang yang sedang berusaha keluar. Diterjangnya kuat-kuat. Ditariknya. Disentakkan. Bahkan dipukulnya! Dia harus mendahului yang lain.
Berhasil keluar dari kengerian, dilihatnya sebuah sepeda motor ringsek terlindas bus kota yang ditumpanginya. Pengendaranya tergencet. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Kerumunan semakin liar. Ganas. Membabibuta.
Dua orang berhasil masuk. Menarik si sopir paksa yang berteriak kesakitan dan minta ampun karena digebuki habis-habisan. Tiga menit kemudian, api mulai menjilati tubuh bus kota itu.
Panas menguak. Membara. Mengepul. Menikam.
Dia terpaku di tempatnya. Matanya terbuka lebar. Kulitnya terasa terbakar. Tubuhnya terhuyung saat dia berbalik sambil memegangi kepalanya. “Aku harus pulang….” desisnya. “Panas ini… lebih panas… dari matahari….” Terhuyung. Terkungkung. “Matahari di dadaku… harus kupadamkan lebih dulu….”
16/02/2011 at 11:00
lima jempol… 🙂