Cerpen : Nyanyian Jiwa

Rabu, 13 Agustus, pukul 22.00

Assalamu ‘alaikum, Buk.

Apa kabarmu di malam yang bening ini? Rasanya sudah hampir seminggu kita tidak berjumpa ya? Malam ini, kita berjumpa lagi. Di luar, begitu sunyi. Kamarku pun sepi, hanya berhiasan dinding-dinding yang hampa menatapku.

Buk, aku ingin bercerita padamu tentang sebuah dunia asing tak berpenghuni. Dunia itu masuk dalam mimpi-mimpiku beberapa malam ini. Dunia yang begitu aneh, dunia yang tak berujung dan tak berpangkal. Begitu putih, bening dan dingin. Di dunia itu, hanya aku seorang yang hidup. Hanya aku yang masih bertahan. Entah mengapa dalam mimpiku itu aku merasakan seperti itu. Padahal aku tidak tahu sebelumnya, dari mana dan bagaimana dunia itu tercipta.

Mungkin kau akan berkata, “Bisa jadi itulah yang dinamakan alam maya, di luar dunia fana yang memang masih ada dunia lain?”

Bisa jadi seperti itu. Tapi aku tak yakin apakah itu memang alam maya, atau sebuah alam lain yang berada di luar alam fana, atau bisa jadi sebuah dunia keterasingan yang berada di antaranya. Yang pasti, untuk beberapa lama aku berada dalam kesendirian yang menyengat, hingga hatiku menjadi datar dan mencuram tanpa kuketahui apa sebabnya. Tapi terkadang juga menukik begitu cepatnya, laksana Buraq yang melesat melebihi kecepatan cahaya.

Dalam mimpiku itu, mendadak ada seberkas cahaya yang terbang ke arahku. Seketika kutengadahkan kepala dengan mata membelalak. Rasa kaget, takut sekaligus ingin lari mencengkramku. Aliran darahku bergolak hebat, mengingatkanku pada ombak di laut lepas yang terus bergulung, berkejaran dan terkadang saling menghantam. Keringat pun mengaliri wajahku seiring detak jantungku yang menggebu-gebu diiringi musik para malaikat yang menyanyikan lagi Syukur.

Kau pasti juga akan kaget bila melihatnya, Buk. Cahaya itu bukan cahaya biasa. Hanya sekilas berupa titik namun membesar dalam pandangan. Itulah yang terjadi dalam mimpiku. Dan aku tak bisa berlari. Kedua kakiku seakan tertanam ke dalam tanah putih yang dingin. Tetap tak kulihat bagian ujung dan pangkal dari dunia itu. Datar, tanpa ada pepohonan, tanpa ada cicit burung tanpa ada anak kecil berlarian, tanpa ada segala-galanya.

Cahaya itu melesat di atas kepalaku. Karena kaget, aku tak sempat untuk menunduk, apalagi menghindar berpindah tempat. Aku hanya menggigil di tempatku berdiri dan menyaksikan bagaimana cahaya itu tepat satu senti melesat di atas kepalaku. Dalam ketakutan, aku masih sempat menoleh dan mengikuti ke mana arah cahaya itu melesat.

Masya Allah! Cahaya itu tiba-tiba saja melesat ke angkasa luas, lalu menukik tanpa suara. Menghantam tanah, terus masuk hingga ke batas bumi. Mendadak kulihat cahaya berpendar-pendar di permukaan tanah yang kupijak, lalu pyaaaarr! Seluruh tanah itu berubah menjadi terang.

Aku menggigil, Buk. Aku ketakutan.

Ah, maafkan aku, aku tak berani meneruskannya sekarang. Aku terlalu gamang membayangkan kembali cahaya yang telah menghiasi seluruh permukaan tanah.

Barangkali besok malam, atau lusa, atau kemudian setelah lusa aku akan berbicara lagi padamu. Sekarang aku mengantuk. Mudah-mudahan, aku tidak bermimpi lagi tentang dunia aneh itu.

Assalamu alaikun, Buk. Selamat bobo ya…

 

***

 

Jumat, 15 Agustus, pukul 21.45

Ternyata, aku tidak bermimpi lagi tentang dunia aneh itu, Buk. Biar kuteruskan cerita mimpiku itu selagi aku masih mengingatnya. Aku baru saja selesai menyaksikan acara Dunia dalam Berita, acara yang dulu pernah menjadi favorit seluruh rakyat Indonesia sebelum dihujani dengan segala macam mitos, takhayul, setan-setan gentayangan, dangdut yang tak menjual suara tapi menjual goyangan, sinetron yang hanya mempertontonkan kemewahan dan akhir-akhir ini sudah mulai menjurus ke arah kemaksiatan dan segala tetek bengek hiburan yang terkadang suka membuatku sedih bila menontonnya.

Buk, setelah cahaya itu menyebar sekaligus menerpa tanah putih yang kuinjak, kedua kakiku seakan dialiri kehangatan. Kehangatan yang begitu kudambakan, mungkin juga didambakan oleh saudara-saudara kita di Aceh, Ambon, Bosnia, Palestina, Kashmir, Somalia, Uzbekistan, Moro, Kenya, Lebanon, Turki, Afghanistan, Irak dan yang lainnya yang kini menjelma menjadi dingin. Karena di sana manusia menjadi dingin. Hati telah menjadi bangkai. Dingin. Kelu.

Dan kehangatan yang kurasakan itu laksana sinar matahari sepenggalah di kala pagi. Begitu cahaya tadi menerpaku sekaligus kehangatan menjalari sekujur tubuhku, tiba-tiba saja keanehan terjadi. Kedua mataku seakan membuka, membentuk fokus yang dapat menangkap titik kecil di kejauhan. Kau tahu apa yang kulihat, Buk? Ah, kau pasti akan terkejut bila kuceritakan. Maka, persiapkanlah dirimu untuk tidak terkejut.

Yang kulihat itu, adalah ratap tangis anak-anak yang kelaparan. Derai tawa orang-orang berperut buncit dan bertanduk.

Kulihat kobaran api di mana-mana.

Kulihat pula manusia terpanggang diiringi jerit yang memilukan.

Kulihat peluru berterbangan.

Kudengar orang menggemakan Allahu Akbar yang memecah langit.

Kulihat seekor harimau sedang menerkam seekor rusa.

Kulihat seekor srigala sedang memangsa kelinci.

Mengerikan, sangat mengerikan! Sebenarnya tidak ingin kuceritakan hal ini kepadamu, Buk. Tapi aku ingin berbagi cerita. Dalam mimpiku itu, aku seakan tak mampu untuk bergerak. Mulutku terkatup rapat dan dari kedua bola mataku, menetes bening yang membuatku seakan terpuruk ke dalam lembah air mata.

Mengerikan sekali, bukan? Karena hanya aku yang ada di sana. Hanya aku. Tapi bisa kusaksikan seluruh kejadian aneh yang membuat diriku berlipatganda kebingungan dan kegamangan.

Kau tahu apa makna mimpiku itu, Buk?

Aku sendiri tidak tahu. Apakah ini sebuah gambaran apa yang sedang terjadi di negeri indah ini? Negeri yang katanya gemah ripah lohjinawi. Negeri yang ijo royo-royo? Aku tidak tahu, Buk… sungguh, mengerti pun aku sulit untuk memaknainya.

Biar kuteruskan lagi mimpiku, Buk. Lalu kulihat ada cahaya-cahaya bening yang indah, sejuk dan mempesona. Mungkin cahaya itu adalah para malaikat yang sedang bersujud. Mereka menyanyikan lagu kepedihan. Malaikat pun tundukkan kepalanya ke bumi, Buk. Bayangkan, malaikat melakukan hal itu, sementara manusia terus menebarkan teror yang mengerikan. Menjelmakan dirinya menjadi hewan-hewan biadab yang memangsa sesamanya.

Buuummm!!

Itu suara bom yang meledak, Buk. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Bom yang menghancurkan sebuah pelataran parkir sebuah gedung yang tiba-tiba muncul dalam mimpiku. Kulihat serigala-serigala liar berlarian sambil tertawa-tawa. Mereka memakai jas bagus. Berdasi bagus. Bersepatu bagus. Ada beberapa di antara mereka yang menghisap cerutu.

Sungguh mengerikan! Bulu romaku sampai berdiri, Buk. Dan aku berharap aku bisa terbangun dalam mimpiku itu. Tapi tidak, aku tetap terpaku dalam mimpiku, tetap berdiri di tempatku menyaksikan seluruh keadaan itu.

Okhh! Sekarang sudah pukul 12 malam. Maaf, aku terlalu takut untuk menuliskannya lagi. Kita akan bertemu lagi ya..

 

***

Minggu, 17 Agustus, pukul 8.30

Assalamu ‘alaikum… Selamat pagi, Buk. Hari ini Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-58. Mungkin Indonesia sudah tua, sudah terlalu bungkuk karena sarat dengan beban yang terus menerus ditambah dan ditambah. Beban yang membuatnya nampak begitu tua.

Tadi banyak perlombaan yang dilakukan di kompleksku. Semua bergembira ria menyambut hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Di acara televisi pun kulihat seluruh rakyat Indonesia bergembira menyambut kemerdekaan Ibu Kandungnya, meskipun ah… banyak anak-anak kandungnya yang ingin menerkam sekaligus membungkam mulut ibu kandungnya sendiri.

Mudah-mudahan kegembiraan menyambut ulangtahun Ibu Kandung itu bukan cuma menjadi simbol belaka ya, Buk.

Oh, maaf… bukan itu yang ingin kuceritakan padamu. Tapi semalam, oh… Ya Allah… semalam, Buk, aku bermimpi lagi. Mimpi tentang dunia aneh itu. Subhanallah! Sungguh, aku tidak mengerti, mengapa mimpiku itu seperti sebuah rangkaian cerita belaka. Mimpi bersambung. Mungkin hanya beberapa orang saja yang pernah mengalami mimpi aneh sepertiku itu.

Dalam mimpiku, di tempat yang sama, dalam suasana yang serba kacau, mendadak saja orang-orang ramai melakukan ruwatan. Katanya, nama ruwatan itu ruwatan sengkolo, ruwatan yang membebaskan dari segala persoalan. Masya Allah! Ini sungguh aneh sekali. Mereka melakukan ruwatan? Mereka bukannya berdoa, bertobat dan mohon ampun serta petunjuk pada sang Khalik? Bayangkan, Buk, betapa pedihnya hatiku melihat sikap mereka. Bahkan mereka mencoba membujukku untuk mengikuti ruwatan bersama.

Sudah tentu aku tolak. Kau tahu apa yang terjadi, Buk? Mereka marah padaku. Marah besar. Aku dianggapnya sebagai orang yang tidak mengerti arti kesatuan dan persatuan. Kata mereka, agar negeri aneh itu aman dan tentram, semua orang harus melakukan ruwatan.

Aku tetap menolak ajakan itu. Aku hanya percaya pada Allah Subhanahu wata’ala. Lainnya tidak. Dan kulihat mereka ramai-ramai melakukan ritual aneh. Masing-masing orang membawa dupa, kemenyan, kembang tujuh rupa, kelapa ijo dan entah apa lagi. Semua duduk begitu khusyuk mendengarkan seseorang berpakaian miri orang Keraton yang sedang melakukan ritualnya.

Hei! Bahkan aku sempat mengenali beberapa orang di antara mereka. Kalau tidak salah, orang itu pengusaha?

Oh, itu ada pejabat.

Oh, itu ada orang penting.

Oh, itu ada orang yang selalu menyumbang banyak.

Oh, itu ada orang yang sering berceramah.

Oh, masih banyak lagi… terlalu banyak yang wajah-wajahnya tidak asing dalam pandanganku.

Hatiku sedih, Buk, sekaligus luka yang tak terkira. Mengapa mereka percaya dengan segala ruwatan? Tumbuhan pun pasti menertawakan mereka. Hewan pun pasti akan mencemooh mereka.

Dan ternyata ruwatan itu dilakukan selama tiga hari tiga malam dengan ritual mandi kembang tujuh rupa, didoakan dengan cara ditiup ubun-ubunnya oleh seseorang yang dianggap sepuh, lalu dikecup kening masing-masing orang.

Aku menggigil melihatnya, Buk. Sungguh, aku takjub dengan kebodohan mereka. Dan aku tidak bisa mengerti mengapa mereka mau melakukan hal itu? Apakah dongeng tentang Kala Ijo yang datang menghancurkan dunia itu benar-benar dianggap sebuah fakta oleh mereka?

Memang Buk, sekarang ini sangat sulit membedakan mana dongeng dan mana fakta. Karena semuanya dikaburkan, disatukan hingga campur baur dan seperti rujak dalam piring rasanya cuma satu: pedas!

Selesai ruwatan, mereka bernyanyi bersama-sama, Buk. Sambil berpegangan tangan. Yang wanita, membiarkan kain yang menutupi tubuhnya dibiarkan terus membasah karena siraman air ajaib. Yang laki-laki menggenggam erat tangan para wanita itu.

Aku tidak tahu apakah aku salah menilai dalam hal ini. Karena ruwatan nampaknya sudah menjadi sebuah tradisi dengan kemunculan orang-orang yang mengaku sebagai paranormal, orang-orang yang bisa melihat masa depan, orang-orang yang bisa meramalkan masa depan. Sungguh, aku tak bisa menerima kenyataan itu. Karena Socrates pernah bilang, “Peramal itu sesungguhnya sedang meramalkan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa diramalkan.”

Oh, maaf! Itu suara Mama yang memanggilku! O ya, aku harus ikut lomba membaca Al Qur’an. Itu usulku lho, Buk. Agar dalam setiap peringatan kemerdekaan Indonesia, lomba baca Al Qur’an pun harus diadakan.

 

***

Agustus akhir

Dalam kesendirian dan keheningan ini, kucoba untuk menjawab berbagai pertanyaan yang selalu muncul. Seperti pertanyaan Sigit tadi di kampus. Ah, apakah itu pertanyaan atau sebuah pernyataan ya? Katanya, dia ingin melamarku, Buk. Kata-katanya pelan dan gemetar saat berucap, “Riri… aku… aku ingin kau menjadi pendamping hidupku….”

Oh, luluhkah hatiku? Jelas saja luluh, karena diam-diam aku pun mencintainya. Tapi bagaimana aku harus menjawabnya? Bagaimana? Kata Khalil Gibran, sebuah pertanyaan hanya mengandung satu persepsi, tapi sebuah jawaban mengandung banyak persepsi.

O ya, Buk… mimpi itu tidak datang lagi mengganggu tidurku. Kusadari selalu, kalau aku hidup bukan dalam alam mimpi, tapi dalam alam kenyataan. Seperti Sigit tadi, kan? Ih, kau pasti menertawakanku ya, karena aku begitu ge-er. Perduli amat, ah! Hanya saja… bukankah bila tiba saatnya untuk melangkah pada kehidupan selanjutnya, kita harus mengambil langkah tersebut? Ya, Insya Allah aku akan shalat Istikharah agar dapat kupastikan lebih jelas, apakah Sigit memang yang diberikan Allah untukku atau bukan. Jadi, kutepiskan dulu perasaan sukaku padanya. Meskipun aku hanya diam saja atas pertanyaannya.

Eh, adzan Ashar tuh. Aku shalat dulu ya? Maaf Buk, kau kutinggal dulu ya. Tapi kepada Ya Rabbi… aku tak akan pernah meninggalkannya…

Assalamu ‘alaikum, Buku yang tak pernah mengeluh…. Kelak, Insya Allah kita akan berbicara jauh lebih banyak lagi. Saat ini, biarkan aku menenangkan segala pikiran yang ada di benakku dan melontarkan segala beban ke mata langit.

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: